Sebuah pemandangan yang ironis sering kali saya jumpai di jalan-jalan ibu kota. Setiap hari hampir selalu saya temui pengemis yang berpura-pura cacat untuk sekedar mendapatkan belas kasihan. Awal mula melihatnya saya tak menduga bahwa orang tersebut normal. Namun karena begitu seringnya saya melihat lama-lama saya tau kalau orang itu hanya berpura-pura saja.
Saya heran, mengapa mereka yang normal, dimana semua indera mereka berfungsi dengan baik tetapi harus mengingkarinya dengan berpura-pura dan sengaja melakukannya. Sehingga orang lain akan jatuh iba kepada mereka.
Hal ini membuat saya tercenung, melihat keadaan yang bertolak belakang dengan orang-orang yang sering dianggap cacat. Namun tak pernah mau dan tak ingin dikasihani. Bahkan tak mau dianggap cacat atas tidak sempurnanya indera yang dimilikinya.
Walaupun pendengaran saya berkurang banyak, namun saya menolak bila di sebut sebagai orang cacat. Saya menganggap kekurangan ini bukan suatu cacat. Karena nyatanya saya masih bisa mendengar dengan baik walaupun hanya melalui sebuah alat (Hearing Aid).
Begitupun dengan anak-anak yang terlahir dengan gangguan dengar. Dimana anak-anak tersebut hanya bisa mendengar melalui alat, tetapi orangtua merekan mengusahakan agar anaknya tidak menganggap dirinya cacat. Karena secara fisik terlihat sama dengan anak lain. Tangan, kaki, mata, mulut, bahkan otak karena kecerdasan mereka sama dengan anak lain.
Itulah mengapa orangtua yang anaknya mengalami gangguan dengar lebih suka menyebut anaknya dengan "anak berkebutuhan khusus". Sebab anak-anak tersebut memang memiliki kebutuhan khusus yaitu kebutuhan akan pengunaan Hearing Aid.
Maka dari itu sungguh ironis bila yang normal, semua indera berfungsi dengan baik tapi mengingkarinya. Sedangkan yang dianggap cacat, berusaha sekuat tenaga agar tidak di pandang dari kekurangannya..
Saya heran, mengapa mereka yang normal, dimana semua indera mereka berfungsi dengan baik tetapi harus mengingkarinya dengan berpura-pura dan sengaja melakukannya. Sehingga orang lain akan jatuh iba kepada mereka.
Hal ini membuat saya tercenung, melihat keadaan yang bertolak belakang dengan orang-orang yang sering dianggap cacat. Namun tak pernah mau dan tak ingin dikasihani. Bahkan tak mau dianggap cacat atas tidak sempurnanya indera yang dimilikinya.
Walaupun pendengaran saya berkurang banyak, namun saya menolak bila di sebut sebagai orang cacat. Saya menganggap kekurangan ini bukan suatu cacat. Karena nyatanya saya masih bisa mendengar dengan baik walaupun hanya melalui sebuah alat (Hearing Aid).
Begitupun dengan anak-anak yang terlahir dengan gangguan dengar. Dimana anak-anak tersebut hanya bisa mendengar melalui alat, tetapi orangtua merekan mengusahakan agar anaknya tidak menganggap dirinya cacat. Karena secara fisik terlihat sama dengan anak lain. Tangan, kaki, mata, mulut, bahkan otak karena kecerdasan mereka sama dengan anak lain.
Itulah mengapa orangtua yang anaknya mengalami gangguan dengar lebih suka menyebut anaknya dengan "anak berkebutuhan khusus". Sebab anak-anak tersebut memang memiliki kebutuhan khusus yaitu kebutuhan akan pengunaan Hearing Aid.
Maka dari itu sungguh ironis bila yang normal, semua indera berfungsi dengan baik tapi mengingkarinya. Sedangkan yang dianggap cacat, berusaha sekuat tenaga agar tidak di pandang dari kekurangannya..
*gambar dari sini
itulah dunia... kadang tak habis pikir juga kenapa mereka berbuat seperti itu... mereka diberikan kekuatan dan kelangkapan panca indra.. namun mereka sendiri yang melemahkan semuanya...
BalasHapusmaaf, btw, memang nita sendiri mengalami hal demikian?!
BalasHapusSungguh menyedihkan... mereka melakukannya karena himpitan ekonomi, semestinya kita yang berkemampuan memberikan mereka tempat untuk dapat berkarya dan hidup normal, artikel yg bagus
BalasHapusMemang sudah sepantas nya kita bersyukur atas apa yg diberikan Allah SWT kepada kita. Karena Allah tahu mana yang terbaik untuk kita. Salut buat mbak Nita....
BalasHapus@Rangga: Dunia memang sudah kebalik-balik. apa karena menengadahkan tangan lebih mudah sehingga enggan meninggalkan kebiasaan tersebut yaa..
BalasHapus@Ust.Hidayatullah: waah saya kadang dilema klo orang lain menganggap saya begitu, tak suka saja bila di lihat dari alat yang saya pakai. Padahal orang2 di dekat saya memanggap biasa saja.
@Rossy R: tapi ada looh yang ternyata pengemis itu berkecukupan di kampungnya. Punya Ponsel bagus hasil mengemis pula. mungkin karena itu pula enggan menggunakan kemampuan mereka sendiri. :(
@mbak Diyah: saya pun bersyukur mbak, walau tak sempurna suara yang saya tangkap karena ini hanyalah sebuah alat. tapi saya bersyukur tak perlu kehilangan suara..
Rasulullah Saw bersabda: "Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta."
BalasHapus(HR.Al-Bukhari)
Semoga ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, dan akhirnya kita ambil hikmahnya..
BalasHapusmereka punya tubuh yg sempurna, tapi tidak bersyukur malah berpura2 cacat. sungguh Tuhan akan sedih melihatnya..
BalasHapus@Nuansa Pena: Terimakasih hadistnya..sekalian mengingatkan saya juga..
BalasHapus@AmruSite: mudah2an bisa jadi pengingat juga yaa..
@Randy: andaikan mereka berpikir begitu, andaikan mereka sadar kalau Tuhan melihatnya..
mereka cuma belum pernah measa berkekurangan jadi bersikap seperti itu, kalo mereka benar2 merasakan, tentu mereka tidak akan seperti itu..
BalasHapusdunia ini memang sudah terbalik sob...yang cacat aja pengen bangkit, eh ..malah yang normal berpura2 cacat biar dikasihani..heran
BalasHapusKan mereka berbuat gitu karena mereka butuh makan..so mereka mengharapkan belas kasihan dengan berpura2 cacat...yah kalo mereka gak butuh makan juga mungkin mereka gak akan melakukan seperti itu...
BalasHapussebuah ironi yang tampaknya mengingkari nikmat....kejadian yang sungguh memilukan dan pantas untuk di renungkan.....
BalasHapusNita, aku ingin komentar, tapi tak ingin menyalahkan mereka yang sepertinya membohongi kita dengan cacat palsunya.
BalasHapusAku pernah ketemu dengan orang yang seperti itu, dan kemudian mengetahui kehidupannya. Orang itu memang miskin dan bahkan tak berpendidikan. Ia pernah meminta-minta pekerjaan, tapi tak ada yang memercayainya.
Ia mengatakan terpaksa membuat cacat palsu. Nah, setelah itu, dia ketagihan melakukan itu, dia mengemis berpindah-pindah tempat ke daerah lain, hingga akhirnya kaya.
Sesudah kaya pun, dia masih mengemis, karena dia nyaman dan ketagihan serta tak mampu memanfaatkan uangnya untuk usaha, karena tak berpendidikan.
Ini memang masalah sulit Indonesia, Dinas Sosial pun tak peduli dengan masalah ini. Tapi kamu peduli, salut!
Hanya saja, melihat orang seperti itu, apa yang akan kita lakukan? Apakah hanya membicarakannya di sini? Dengan begitu, apakah masalah selesai?
kalau sudah menyentuh masalah perut memang manusia bisa menjadi gelap mbak, itulah yg dinamakan korupsi moral, sy salut utk para penyandang cacat yg tetap berjuang utk hidup tanpa merasa ada yg kurang.........
BalasHapus@secangkir teh dan sekerat roti: Tuntutan hidup n perut tidak bisa di hindari. Itulah jalan yang cepat untuk memenuhinya.
BalasHapus@Willyo Alsyah P. Isman: yaa.. begitulah. yang cacat aja kadang malu klo mesti di umbar segala kekurangannya cuma untuk mendapatkan belas kasihan.
@bintang: memang lagi2 urusan perut susah banget di kompromi. sudah gitu tak mudah untuk cari kerja. Saya aja udah merasakan susahnya cari kerja n di depak.. :D
tp andaikan mereka mau, tentu lebih baik mereka jualan ketimbang minta2.. :(
lagi2 balik lagi ke pribadinya masing2
@Aditya's Blogsphere : setidaknya mengingatkan saya bersyukur. walaupun hidup saya mahal, n hanya bisa hidup biasa saja klo gak mau di bilang pas-pas an setidaknya saya masih bisa membiayai diri untuk mendengar..
BalasHapus@Muttakhidul Fahmi: begitu ceritanya yaa..
tp sayaang sekali yaa.. setelah kaya, kok malah jadi ketagihan mengemis. Sungguh sangat di sayangkan. Masalah begitu sampe kapanpun tak akan pernah selesai. Lagi2 karena pribadi masing2, mau berubah atau tidak. klopun sudah di beri penyuluhan n keterampilan masih balik lagi yaa.. susahlah..
@Mas Moer: tentunya orang2 yang sering dianggap tak "Normal" itu berjuang karena dukungan keluarga dan orang2 di sekitarnya. kalau tak ada dukungan tak mungkin mereka bertekad maju.
kenapa tidak menjadi pemulung itukan lebih baik daripada mengemis apalagi maaf sampai pura-pura cacat
BalasHapustapi mau kah mereka menjadi pemulung?
BalasHapussaya lebih respek loh sama pemulung yg mungutin botol dan gelas2 plastik. Namun sekali itu kembali ke pribadi masing2.
Miskin dan malas, dua hal yang terkadang sulit dibedakan dari seorang pengemis. yang lebih memprihatinkan, ada yang menjadikan mengemis sebagai profesi, bukan sesuatu yang memaksa atau mendesak
BalasHapusyang bikin ngenes kalo hal seperti itu di terapkan ke anak2 yang masih kecil. Hal ini sering saya liat di Blok M, ada anak kecil sekitar umur balita, pura2 buntung kakinya. Tadinya saya pikir itu beneran. namun karena saya sering lewat sana akhirnya saya tahu, kaki anak kecil itu sempurna, ia bisa berlari2. kebetulan saat itu sedang hujan dan ia menepi bareng org dewasa yg mengendongnya dan kakinya ternyata memang utuh..
BalasHapusItu tandanya nurani manusia sudah tidak berfungsi dengan baik. Bukannya mensyukuri nikmat yg diberikan Tuhan, tapi demi kemalasan malah membuatnya terlihat cacat. Sungguh salut dengan semangat para penyandang cacat yang justru ingin berdiri sejajar dengan orang yg sempurna.
BalasHapusTuntutan hidup, n kerasnya kehidupan.. itulah yang menjadikan meraka mengesampingan nurani..
BalasHapusJadikan kekuranganmu menjadi kelebihanmu, Semua manusia sama, apapun keadaan kita miliki bukanlah sesuatu yang harus ditutupi bukan pula yang harus diratapi, tetaplah bersyukur dengan apa yang kita miliki
BalasHapushttp://chahndeso.blogspot.com/2013/09/keterbatasan-fisik-penyandang.html